“Minumlah, Verena.” Gadis yang dipanggil Verena
itu mengalihkan pandangannya dari menatap luar jendela pada gadis berambut
pendek di bawah telinga yang tengah tersenyum, memberikan segelas teh pada Verena.
Verena meminum teh itu sedikit lalu menyerahkan kembali cangkir itu.
“Yura, bagaimana bisa aku berakhir di sini?” Verena
memandang ruangan dimana dia berbaring saat ini. –ruang kesehatan- lau menatap
Yura.
Yura menghela nafasnya lalu meletakkan cangkir
teh ke atas meja. “Kau tiba-tiba saja berteriak-teriak sambil menutup
telingamu, saat orang-orang mendekatimu, kau pingsan.” Yura mengangkat kedua
bahunya. Mendengarnya Verena hanya memandang Yura datar lalu kembali melihat ke
luar jendela. Yura merasa sedikit aneh melihat Verena yang sekarang. Tak
biasanya Verena menutup rapat mulutnya seperti ini. Bukankah hal seperti ini biasanya akan membuatnya penasaran?
“Sejak kapan matamu berkantung mata seperti
itu?” Tanya Yura lagi, Verena masih saja menatap ke luar jendela. Menghela
nafas lalu menutup kedua matanya. Menarik selimut hingga batas leher.
Melihatnya, Yura menepuk bahu Verena lalu berjalan menuju pintu keluar. Mata Verena
terasa berat lalu ia tertidur.
Setelah satu jam berlalu, kening Verena
berkerut. Keringat mengucur deras. “Jangan ganggu aku! Aku mohon.” Kepala Verena
bergerak ke kiri dan kanan. “Argh-“ Verena pun membuka kedua matanya dengan
nafas yang naik turun. Syukurlah, aku
masih di ruangan kesehatan.
Namun kenyataan itu tak membuatnya lega. Suara
itu masih terus terdengar. Bahka saat ia menutup kedua telinganya, seperti saat
ini. Suara wanita yang merintih, “Tolong,
jebal, tolong.”
Dengan tiba-tiba tirai ruangan kesehatan
tertutup rapat. Membuat jantung Verena seakan hendak keluar. Suara rintihan
menyeruak meminta pertolongan semakin membuat kepalanya pening. BACA SELENGKAPNYA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar