AUTHOR : EVERG
GENRE : SAD (?), DRAMA, ROMANCE
MAIN CAST :
·
CHOI MIN HO
·
BANG MINAH
Support Cast :
·
CEK ON THE STORY
WARNING :
DON’T LIKE DON’T READ, NO COPAS, banyak miss
typo
DISCLAIMER :
Karakter tokoh tidak sesuai aslinya. Hanya berupa hasil imajinasi
author. Seluruh hak cipta penulisan karakter, alur dalam cerita yang tertulis
asli milik author.
NOTE !!!
Cerita ini hanya fiktif belaka. Bila ada karakter idol kalian yang
tidak biasa itu karena tunturan peran :p. Jangan marah ke author.. marah saja
ke orang lain di samping anda Hehehe
HAPPY READING
RCL Please
^^^^
LISTEN
ONESHOOT
ALL
MINAH POV
Dia bagaikan butiran salju yang
turun dari langit. Lembut, indah namun sungguh dingin. Semakin lama dia akan
menutupi semuanya dan menciptakan rasa dingin, beku.
Sedangkan aku bertolak belakang
dengannya. Aku penebar rasa hangat.
Kilauan akan terlihat di mataku. Aku bagaikan musim panas. Dan aku tak tau
apakah aku dapat mencairkan hatinya.
^^^
Mataku menatap daun-daun yang berguguran
indah. Daun-daun itu seperti harapanku yang gugur satu persatu. Tentang namja
itu, tentang perasaanku untuknya dan tentang perjuangan yang aku lakukan.
Aku tertawa bukan karena aku merasa bahagia
tapi aku merasakan sakit. Sakit yang semakin menghimpitku. Dan aku masih saja
terus menikmati dan bertahan pada rasa sakit itu.
“Minho.” Nama namja itu. Nama yang selalu aku sebut
setiap detiknya. Walau bibirku tak mengucapkan namanya tapi fikran dan hatiku
pasti selalu menyebut namanya. Namun aku tahu, sebaliknya dia tak pernah
menyebut namaku sama sekali.
^^^
“Yeeeee, ayo~ Minho~!”
Teriakan,
suara bola basket yang terpantul
di lantai saling berseru. Aku tersenyum memandangnya. Minho sedang bertanding
saat ini. Dan aku pasti tak melewatkan pertandingannya. Namun untuk kai ini
semua sudah jauh berbeda, aku bukan lagi superternya, seperti dulu.
Mataku dapat melihat dan telingaku bisa
mendengar banyaknya yeoja yang menyemangatinya, meneriakkan namanya. Setiap
Minho berhasil mencetak angka pasti keriuhan semakin menjadi. Tapi Minho seakan
tak peduli dengan teriakan itu. Dia akan terus fokus pada permainannya.
Mengabaikan semuanya.
Aku, dulu mungkin menjadi satu di antara
yeoja-yeoja itu. Meneriaki nama Minho, berteriak kencang jika mata Minho tak sengaja menatap ke arahku
atau aku duduk di bangku pemain dan membawakan handuk dan sebotol air mineral
untuknya. Walaupun akhirnya Minho hanya
berjalan melewatiku tanpa berkata apapun. Ya, aku menjadi orang yang
sangat bodoh saat itu.
^^^
Kuaikui, aku pernah menjadi penggemar berat Minho. Semenjak aku satu
fakultas dengannya aku sudah jatuh cinta padanya. Minho yang cool, tinggi, tampan, dan berwajah dingin, aku menyukai
semuanya. Sejak dulu aku bermimpi untuk memiliki kekasih seperti Minho.
Dan semenjak itu aku putuskan untuk
mengejar cintanya.
“Minho,
boleh aku makan siang bersamamu?”
“Minho,
permainan basketmu semakin bagus”
“Minho,
aku membuatkan bekal untukmu.”
“Minho,
apa kau lelah?”
Hah, entah berapa banyak pertanyaan, pujian
yang aku berikan untuknya. Dan berapa banyak pula senyuman ramah yang terlihat
di wajahku bila bertemu dengannya. Dan berapa banyak pula penolakan, wajah
datar dan pengabaiannya untukku. Namun waktu itu mataku terlalu buta. Dan waktu
itu aku dengan rela membuang harga diriku jauh-jauh. Demi untuknya. Hanya
untuknya. Dan aku baru menyadari, bahwa aku tak akan bisa membuatnya sekedar
membuat matanya menyadari kehadiranku.
^^^
Minho. Bagaimana aku bisa menjabarkan tentang
namja in? Mungkin butuh berlembar-lembar kertas untuk menuliskan semuanya. Hah,
dia begitu mempesona di mataku.
Minho namja yang tak tersenyuh. Selain tampan
dan berprestasi, sikap dinginnya pada para yeoja. Dan aku bersyukur akan itu.
Karena dia begitu sulit ditaklukkan. Aku sangat bersemangat untuk mengejarnya.
Ya, aku menjadi yeoja yang tak tau diri.
Minho, anak kedua dari dua bersaudara.
Ayahnya pelatih sepak bola jadi tak heran dia sangat menyukai olah raga. Minho
yang memiliki wajah tampan tentu saja banyak yang menawarinya menjadi model,
namun dia lebih memilih bidang olah raga.
Minho memiliki kakak lelaki. Awalnya kalau
aku tak berhasil mendapatkan Minho aku memilih Hyungnya saja. Tapi ternyata
cintaku sudah mentok untuknya.
Sikap dinginnya itulah yang aku suka darinya.
Berarti dia tak akan bercentil-centil dengan banyak yeoja bukan? Dan kalau aku
berhasil mendapatkannya bukankah hanya aku yeoja yang dipandanginya? Hanya aku.
^^^
Kalau aku tipikal pengagum rahasia aku bisa
menerima sakit yang ku dapat darinya. Diabaikan seolah tak terlihat.
Tapi aku menunjukkan rasa cintaku padanya.
Aku menunjukkan kehangatanku padanya. Bahwa rasa ku bukan hanya rasa kagum tapi
rasa cinta. Tapi sikapnya masih seperti itu. Memandangku seperti yeoja-yeoja
kebanyakan.
Jangan kira bahwa aku terus tersenyum.
Walaupun aku terlihat begitu ceria kapanpun. Aku pasti pernah menangis.
Sebanarnya aku adalah orang yang benci menangis. Aku menangis hanya saat aku
lahir, saat mendapat nilai jelek dan saat kucing kesayanganku mati. Selebihnya
aku berusaha tegar dan tetap tersenyum.
Tapi dengan mengenal Minho dia mengubahku 180°. Air mataku bisa dengan mudah menetes saat segala yang aku lakukan
untuknya terabaikan. Air mataku dengan mudahnya akan tertumpah. Setiap hari,
bahkan setiap malam. Membuat bantalku basah dan mataku bengkak. Menjadikanku
bahan ejekkan keesokan harinya.
Tapi jantungku berdetak begitu kencang saat
berada di sampingnya. Bahkan memikirkannya saja sudah mengaktifkan debar di
jantungku. Pupil mataku akan membesar saat sosoknya terlihat di mataku. Pipiku
memanas dan aku menjadi sulit bernafas.
Tapi saat dia begitu dingin ucapannya yang
menusuk dan sosokku yang tak terlihat di matanya. Rasanya sungguh aku ingin
berhenti. Dari segala perasaan yang hanya aku rasakan sendiri. Bodohnya
jantungku ini tak mau berhenti berdebar. Mungkin aku harus membuang jantung ini agar hidupku damai.
Aku sudah mencoba semuanya. Membuang foto-foto Minho, menyobeknya menjadi
kecil-kecil namun ujung-ujungnya aku akan menyatukan kembali serpiahan-serpihan
kecil foto itu. Menghindar dari tempatku biasa bertemu dengan Minho, tapi
lagi-lagi aku kembali mencarinya karena aku begitu rindu. Aku gagal dan gagal
lagi.
Minho seperti lingkaran setan bagiku. Terus
menarikku ke lubang gelap dan paling dalam. Hingga aku tak bisa keluar.
Disinilah aku, aku harus bisa meninggalkan semuanya. Semua yang sia-sia
untukku.
Dan sekarang di sinilah aku, menonton
pertandingan basket terakhirnya. Sebelum Minho pindah kuliah di luar negeri,
beasiswa karena prestasinya selama ini. Aku anggap ini terakhir kalinya aku
bertemu dengannya, ucapan perpisahan. Karena kini aku sudah berhasil menjadi
sepertinya. Mengabaikan semuanya. Dan aku tak akan melakukan hal bodoh seperti
itu lagi.
^^^
“Tok, tok, tok.” Aku mengangkat wajahku saat melihat teman
sekelasku mengetuk meja dosen.
“Kalian lihat apa di tanganku?” Dia
menggoyang-goyangkan undangan berlembar-lembar di tangannya. Aku hanya
memandangnya tak berminat. “Ini undangan pesta perpisahan Minho! Huaaa,
kita diundang!”
Aku menutup telingaku mendengar suaranya yang
cempreng. Waw, tumben makhluk dingin itu peduli? “Dan
nama setiap orang ada di undangan ini. Aku akan memanggil alian satu per satu.”
Aku melihat temanku satu persatu maju ke
depan mengambil undangan itu. Sampai akhirnya undangan-undangan itu. Sampai
akhirnya undangan-undangan itu habis dibagikan. Hanya aku. Hanya aku yang tak
mendapatkan undangan itu.
“Kenapa kau tak dapat?” Tanya
salah satu temanku, aku hanya mengangkat bahuku.
“Bukankah kau pemuja nomor satunya?” Timpal
yang lain.
“Dia sudah pensiun, benarkan?” Aku
hanya bisa tersenyum ke arah mereka. Sedih memang, sepertinya Minho sudah tak
mau melihatku lagi.
“Syukurlah. Mungkin memang ini yang terbaik. Jalan yang ditakdirkan
Tuhan untukku. Agar aku bisa benar-benar melupakannya.” Aku pun menutup mataku dan air mata bodoh itu kembali jatuh.
^^^
Angin menerpa wajahku. Membuat rambutku
dipermainkan oleh mereka. Aku menatap langit yang kelam tanpa bintang. Aku
masih di sini, di taman kampusku. Dari siang aku belum pulang ke rumah.
Aku kembali tersenyum perih, mungkin saat ini
Minho sedang bersenang-senang. Merayakan kebebasannya dari makhluk sepertiku.
Dari seluruh mahasiswa, hanya aku satu-satunya yang tak diundang. Hanya aku
satu-satunya.
Kakiku melangkah menyusuri koridor kampus.
Hah, sudah 3 bulan aku berusaha melupakan Minho tapi kenapa air mataku masih
saja tumpah. Saat mengingat segala kenangan yang aku lewati. Sendirian,
kenangan ini aku mengingatnya sendirian.
Kantin kampus, taman kampus, aula kampus,
perpustakaan, koridor kampus. Semua tempat itu aku lewati. Aku akan
mengingatnya hanya untuk hari ini saja. Aku akan menghapus semua makna di
tempat-tempat itu. Kepergian Minho merupakan tanda aku akan memulai hidupku
dari awal. Walaupun sebenarnya hidupku sudah berakhir.
Aku menarik nafasku panjang. Ini tempat
terakhir. Tempat yang berisi begitu banyak kenangan untukku. Gedung olah raga.
Aku membuka pintunya perlahan. Cahaya di dalam gedung ini redup namun aku sudah
hapal setiap sudutnya. Bahkan saat aku menutup mataku.
Aku mengambil satu bola basket dan duduk di
tengah-tengah lapangan basket. Aku duduk sambil mendribble bola basket itu
perlahan dan kemudian semakin cepat. Lalu aku melempar bola itu keras.
“minho sialan! Sekarang kau sudah puas hah! Kau tak akan melihatku
lagi! Tak ada yang akan menggusikmu lagi! Puas kau!” Aku memeluk lututku.
“Begitu tak terlihatkah? Begitu tak berartikah aku? Bila kau memang
tak menyukai semua tingkahku tak bisakah kau mengatakannya? Diabaikan lebih
menyakitkan daripada kalimat penolakan darimu. Tau tidak kau Choi Minho!”
“Dan aku sendirilah yang harus melupakanmu. Dan aku sendirlah yang
harus berusaha mengabaikanmu. Itu menyakitkan, menyakitkan sekali! Selamat
tinggal Choi Minho, semoga kau selalu bahagia. Aku akan selalu mendoakanmu.” Dan aku pun menangis dengan kencang.
Tiba-tiba terdengar alunan piano begitu
lembut. Dengan terisak aku berusaha menyimak lagu apa ini. Aku mengenal setiap
nadanya. Ini lagu River Flow in You.
Aku mendonggak dengan mata berair. Sedikit
takut kalau itu ulah penunggu gedung olah raga yang kesal aku yang
teriak-teriak di sini. Namun entah aku
yang rabun atau otakku yang memang sudah gila, mataku melihat sosok Minho di
sana. Dengan kemeja putihnya di mainkan alunan lagu itu dengan pianonya.
Dan lampu pun menyala, lantai gedung olah
raga dipenuhi balon warna-warni. Dengan perlahan aku berjalan mendekatinya.
Berdiri mematung melihatnya terus bermain piano. Dengan air mata yang terus
menetes.
Setelah selesai, Minho langsung menatapku dan
tersenyum, aku kaget. Aku segera menghapus air mataku dan berjalan. Ini hanya
halusinasiku saja. Khayalanku saja.
“Minah.”
Langkahku terhenti saat mendengarnya
memanggil namaku. Aku segera menggelengkan kepalaku. Tidak, itu tidak mungkin
dia. Tapi tiba-tiba dia yang menahan lenganku dan membalikkan tubuhku.
Dia menghapus air mataku. Aku menutup mataku
merasakan kelembutan tangannya. “Kenapa
kau menangis?”
“Hah, aku sudah benar-benar gila!” Aku
menghempaskan tangannya lalu mulai berjalan lagi. Namun dia menahanku kuat.
“Ini aku Choi Minho. Kau tak berkhayal, ini benar-benar aku.”
Aku mendorong tubuhnya. “Oh, kau! Mau apa sekarang? Setelah sekian lama kau mengabaikanku
untuk apa kau berdiri di hadapanku seperti ini? Pergilah! Aku sudah tak mau
melihatmu lagi!”
“Mianhae, jeongmal mianhae.” Dia
memelukku. “Aku hanya tak yakin kau benar-benar
menyukaiku. Aku mengira kau hanya ingin menjadikanku mainanmu seperti yeoja-yeoja yang lain. Memanfaatkanku saja.”
Aku melepas pelukannya. “Kenapa kau berpikiran sedangkal itu? Apa kau tak bisa melihat mana
yangg tulus dan mana yang tidak?”
“Mianhae, aku terlambat menyadarinya. Saat kau mengabaikanku entah
mengapa kau malah mengisi pikiranku. Aku selalu menanti kau yang biasanya
mengikutiku, mengucapkan selamat pagi untukku. Dan aku merasa sesuatu
menghimpit di dadaku saat kau malah berjalan begitu saja melewatiku. Sakit
sekali.”
“Begitu pun yang aku rasakan saat kau memperlakukanku. Rasa yang aku
rasakan 2 tahun ini.”
“Mianhae, aku mohon jangan membenciku. Walaupun terlambat maukah kau
menerimaku kembali?”
“Menerima untuk apa? kita tak memiliki kehidupan apapun. Bahkan kita
sebenarnya tak pernah saling berkenalan sebelumnya. Aku hanya orang asing
untukmu.”
“Mianhae, aku mencintaimu Minah. Saranghae.”
Aku terbelalak mendengarnya, “Hah, apa kau sadar dengan apa yang kau katakan? Aku tak bisa lagi
kau bodohi, Minho.”
“Aku serius! Makanya aku berada di sini. menyingkirkanmu dari
teman-teman kita malam ini. Agar kita bisa berdua dan aku mengatakan semuanya
padamu. Aku benar-benar mencintaimu Minah. Kau membuatku jatuh cinta seperti
ini.”
“Kenapa kau mengatakannya baru sekarang? Kemana saja kau selama
bulan-bulan yang lalu, tahun-tahun yang lalu. Saat semuanya sudah aku
tinggalkan di belakang, kau malah mengatakan hal seperti ini. Haruskah aku
mempercayainya?”
“Hah, aku sudah mengatakannya padamu. Dan aku tak bisa memaksamu
untuk mempercayaiku. Aku minta maaf
karena selalu menyakitimu dan aku akan menerima semua keputusanmu.
Memang aku yang bodoh hingga membuatmu membenciku seperti ini. Tapi mulam besok
kau tak akan melihatku lagi, hiduplah dengan bahagia Minah.” Minho berjalan meninggalkanku.
Aku tak tau harus melakukan apa. Aku hanya
bisa melihat punggungnya yang perlahan
menghilang. Apa aku memang harus benar-bener melupakannya?
^^^
Pesawat Minho sudah terbang 1 jam yang lalu.
Tapi aku masih berdiri di sini, di bandara. Mengingat hal-hal terakhir yang
Minho katakan padaku.
“Aku akan menunggu seperti janjiku padamu. Saranghae Minho.”
.
.
THE END
COMMENT YUK
PPYONG~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar